Pemerintah saat ini tengah memberikan perhatian serius terhadap serangan siber yang dilakukan oleh hacker Bjorka. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto, mengungkapkan bahwa ada satu kementerian atau lembaga yang berpotensi lumpuh akibat serangan Bjorka. Menurut Hadi, pihaknya telah mendeteksi pergerakan Bjorka yang dipandang bisa menjadi ancaman signifikan ke depan.
“Ancaman berikutnya, kami punya data bahwa salah satu lembaga atau kementerian bisa lumpuh. Ini harus segera dibicarakan antara Kominfo, BSSN, dan kementerian terkait untuk memitigasi ancaman tersebut,” ujar Hadi dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR, Kominfo, Menko Polhukam, dan BSSN di Gedung DPR, Jakarta, Senin (23/9/2024).
Hadi juga memperingatkan agar kementerian dan lembaga pemerintah tidak menganggap remeh ancaman dari Bjorka. Ia mengingatkan bahwa hacker tersebut telah beberapa kali membocorkan data pribadi masyarakat Indonesia di dark web. “Kita perlu terus duduk bersama untuk menyimulasikan dan mempersiapkan diri terhadap ancaman ini. Jangan sampai kita meremehkannya,” katanya.
Sebanyak 6 juta data NPWP diperjualbelikan dengan harga sekitar 150 juta rupiah. Data yg bocor diantaranya NIK, NPWP, alamat, no hp, email dll.
— Teguh Aprianto (@secgron) September 18, 2024
NPWP milik Jokowi, Gibran, Kaesang, Menkominfo, Sri Mulyani & menteri lainnya juga dibocorkan di sampel yg diberikan oleh pelaku. pic.twitter.com/orS87za2AJ
Baru-baru ini, Bjorka kembali membocorkan data masyarakat Indonesia, yang diungkap oleh akun X @secgron pada Rabu pekan lalu. Bjorka disebut menjual sekitar 6 juta data NIK dan NPWP, termasuk data Presiden Jokowi, dengan harga 10.000 dolar AS (sekitar Rp 153 juta) di sebuah forum daring.
Namun, menurut Hadi, berdasarkan analisis sementara dari BSSN, sebagian data yang disebarkan oleh peretas tersebut tidak valid. “Analisis sementara menunjukkan adanya ketidakcocokan dengan data asli,” jelas Hadi. Ia juga menegaskan bahwa kebocoran data ini tidak terkait dengan peretasan Pusat Data Nasional Sementara 2 di Surabaya. “Dugaan sementara, data yang bocor berasal dari beberapa kota dan kabupaten, sehingga ada ketidaksesuaian antara data NIK dan NPWP yang dibocorkan dengan pemilik aslinya,” tambahnya.
Saat ini, pemerintah bersama BSSN sedang melakukan validasi terhadap data yang diduga bocor. “Kami masih melakukan validasi terhadap nomor telepon, NIK, dan NPWP yang dibocorkan,” ungkap Hadi. Dirinya juga berencana untuk memanggil Direktorat Jenderal Pajak, BSSN, dan Kominfo dalam waktu dekat guna mengevaluasi permasalahan ini secara lebih mendalam.
Sementara itu, Menkominfo Budi Arie Setiadi tidak menghadiri rapat tersebut karena menghadiri dua acara internasional yang tidak bisa diwakilkan di Denpasar, menurut Wakil Menkominfo, Nezar Patria. Nezar juga mengeluhkan keterbatasan anggaran yang diberikan kepada Kominfo untuk tahun 2024 dan 2025. “PDNS memerlukan anggaran sebesar Rp 542 miliar untuk tahun 2024, namun hanya tersedia Rp 257 miliar, sehingga operasional PDNS untuk bulan Oktober hingga Desember 2024 belum memiliki anggaran,” ujarnya.
Di tahun 2025, situasi anggaran juga masih belum mencukupi, dengan hanya 5,6 persen dari kebutuhan Rp 486 miliar yang disetujui. Hal ini, menurut Nezar, dapat berisiko terhadap terganggunya layanan cloud pemerintah yang melayani 503 instansi pemerintah, dan bisa mengakibatkan terhentinya layanan publik serta administrasi pemerintah. Hal ini juga bisa mengancam program Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), yang berpotensi meningkatkan pembengkakan anggaran pemerintah.
Keluhan terkait anggaran ini mendapat respons tajam dari anggota Fraksi Golkar, Nurul Arifin. Ia mempertanyakan apakah Kominfo bisa bertanggung jawab jika diberikan anggaran tambahan, namun tetap terjadi kebocoran data. “Jika memang masalahnya adalah anggaran, apakah Anda bisa bertanggung jawab jika anggaran tersebut diberikan dan kebocoran data tidak terjadi lagi?” tanya Nurul dengan tegas.